PENDIDIKAN setiap bangsa mesti memiliki ideologi, yaitu keyakinan, nilai, cita-cita, visi, dan metode untuk meraihnya yang setia memajukan bangsa dan negaranya.
Dengan demikian, sebuah proses pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan dan mendorong siswa agar membuat persiapan untuk menjawab pertanyaan ketika musim ulangan dan ujian tiba. Ada empat domain pokok yang mesti dipahami dan menjadi acuan dalam setiap proses pendidikan di Indonesia, yaitu agar setiap siswa mengenal dan memahami potensi dirinya sehingga merasa mantap nantinya ketika memilih satu jurusan yang sesuai dengan bakat dan minatnya.
Kedua, mengenal karakter dan potensi daerahnya yang potensial untuk dipelihara dan dikembangkan. Ketiga, memahami sejarah dan jati diri bangsanya untuk dijaga kehormatannya dan dimakmurkan rakyatnya. Keempat, guru dan siswa juga perlu memiliki wawasan regional-global meskipun sekilas mengenai apa yang tengah dan akan terjadi pada tingkat internasional.
Keempat domain itu sangat penting dimiliki oleh setiap siswa karena nantinya mereka akan menerima estafet kepemimpinan dan kepemilikan bangsa ini. Tapi disayangkan, suasana batin pendidikan sekarang ini lebih banyak diributkan oleh hal-hal administratif dan heboh ujian nasional yang materinya sangat kognitif. Menarik diteliti, seberapa dalam dan kuat pemahaman serta kecintaan remaja kita terhadap sejarah dan jati diri bangsanya dengan materi dan kultur pendidikan yang berlangsung selama ini.
Saya agak pesimistis lantaran kurikulum dan kultur pendidikan yang ada sekarang kurang menanamkan nilai-nilai patriotisme karena pelajaran sejarah dan ketatanegaraan agak terpinggirkan. Sekolah lebih fokus pada persiapan untuk menghadapi ujian nasional. Sejarah, semangat, dan nilai-nilai yang menjiwai kelahiran republik ini tidak cukup dipahami para siswa. Rasa pemihakan serta kecintaan kepada rakyat kecil dan Tanah Air kurang tertanam di hati para siswa dan hal ini bisa jadi terbawa sampai besar.
Pernah dilakukan survei bahwa para sarjana ketika mencari kerja yang paling diminati adalah bergabung ke kantor penjual jasa dengan gaji besar, kurang mempertimbangkan apakah perusahaan itu prorakyat Indonesia ataukah tidak. Siapakah pemilik perusahaan dan seberapa besar pemihakannya pada kepentingan Indonesia kurang menjadi pertimbangan. Dengan kata lain, siapa yang mau membayar lebih tinggi akan menjadi pilihan pertama dan utama.
Jika sikap pragmatisme seperti itu dominan pada pikiran para siswa dan sarjana kita, logis bila banyak modal asing seenaknya beroperasi di Indonesia dan menggeser usaha-usaha nasional-pribumi. Tanpa adanya pemihakan ideologis terhadap kepentingan dan harga diri bangsa sendiri yang ditanamkan sejak sekolah dan berlanjut pada jenjang perguruan tinggi serta kultur perusahaan, daya tahan ekonomi dan budaya Indonesia semakin rapuh.
Rumor yang beredar, suap itu tidak saja berlangsung di lingkungan aktor politik, birokrat, dan pengusaha Indonesia, tetapi tak kalah menggiurkan adalah kekuatan luar yang sengaja ingin mendominasi dan menjerat politik ekonomi bangsa ini. Potensi kekayaan alam yang semasa Bung Karno masih diproteksi, sekarang diobral murah pada modal asing dengan pembagian untung yang sangat tidak sepadan. Orang terjebak berpikir pendek untuk memenuhi kepentingan sesaat dan kelompok kecilnya saja dengan mengorbankan aset dan harga diri bangsa dan rakyatnya. Para calon bupati, wali kota, dan gubernur degan tega dan tidak tahu malu meracuni rakyat dengan membagi uang agar dirinya dipilih.
Tindakan ini telah mencederai harga dirinya, rakyatnya, proses demokrasi, dan pada urutannya menyebarkan virus pembusukan ke dalam kultur politik kita. Yang tidak terpantau oleh rakyat adalah transaksi tingkat tinggi yang berlangsung lintas negara. Lagi-lagi, pertanyaan yang mesti kita renungkan adalah seberapa besar pemihakan kita baik dalam dunia pendidikan, ekonomi maupun politik terhadap martabat dan jati diri bangsa sendiri? Bagaimana kita menyikapi pemberitaan tenaga kerja wanita (TKW) yang telantar dan tersiksa di Timur Tengah? Belum lagi nasib petani dan perajin yang terdesak oleh produk impor.
Esai ini ingin mengajak pembaca untuk melihat kembali, sudah tepatkah strategi pendidikan kita untuk menanamkan nilai-nilai cinta Tanah Air, kekayaan budaya sendiri, dan pemihakan kepada rakyat serta martabat bangsanya? Saya tetap pada prinsip, setiap proses pendidikan mesti ada evaluasi semacam ujian. Hanya saja perlu diingat, ujian adalah bagian dari proses pendidikan dan pembentukan karakter, bukan tujuan akhir dari proses pembelajaran siswa sehingga seluruh perhatian guru dan murid diarahkan ke ujian nasional.(ach/OZ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar