Sabtu, 29 Oktober 2011

Satu Anak Satu Laptop One Laptop Per Child (OLPC)

“Ini adalah proyek pendidikan, bukan proyek laptop.”
Misi
Hampir semua dari dua-milyar anak-anak di negara yang sedang berkembang pendidikannya adalah kurang, atau tidak menerima pendidikan sama sekali. Satu antara tiga tidak lulus kelas lima SD.

MissionKonsekwensi individu dan sosial oleh krisis global ini adalah sangat signifikan (profound). Anak-anak terikat di dalam kemiskinan dan isolasi — seperti orang tuanya — dan tidak pernah tahu pengaruh kehidupan mereka yang dapat menjadi dari "the light of learning" (sinar pendidikan). Selama ini, pemerintah-pemerintah mereka berjuang untuk berkompetisi di dunia global dan ekonomi informasi global yang cepat merubah, yang dibeban oleh "urban underclass" (masyarakat kota) yang terus meningkat dan tidak dapat mandiri, maupun berkontribusi, karena mereka tidak mempunyai alat-alat untuk melakukan itu.

Ini sudah waktu untuk memikir ulang rumusnya.
Dengan sumber-sumber yang negara perkembang dapat mengalokasikan ke pendidikan kadang-kadang ada dibawah $20/tahun/siswa-siswi, dibanding dengan kira-kira $7500/siswa-siswi/tahun di A.S. — walapun alokasi ke pendidikan tradisional dilipad dua atau empat kali, dan dibantu oleh dana dari luar dan sumber swasta, masih tidak akan berhasil mengatasi masalahnya. Apa lagi, dari pengalaman bahwa kelihatannya "incremental increase" peningkatan gradual hal-hal pendidikan yang biasa, bangun sekolah, angkat guru, beli buku dan peralatan yang memang baik, ini adalah response yang kurang terhadap masalah membawa kesempatan-kesempatan pelajaran yang luas ke anak-anak yang bermilyadan di dunia perkembang.

Kalau berdiri dan tidak maju ini adalah sama dengan mundur.
Anak-anak bangsa adalah sumber alam yang paling terhargai. Kami percaya bahwa negara-negara yang sedang berkembang harus "leverage" menggunakan sumber ini oleh kemampuan untuk "tapping into" menggunakan kapasitas alami anak-anak untuk belajar, membagi, dan berkreatif secara mandiri. Jawaban kami untuk tantangan ini adalah XO laptop, komputer yang dirancang untuk “belajar belajar”.

XO mengintegrasikan "theories of constructionism" yang pertama di bangunkan oleh MIT Media Lab Professor Seymour Papert tahun 1960an, dan later dilanjutkan oleh Alan Kay, dilengkapi dengan prinsip-prinsip terinci oleh Nicholas Negroponte di bukunya, "Being Digital".

Validation"Sudah dites di lapangan secara luas dan divalidasikan di antara masyarakat-masyarakat yang termasuk yang paling miskin dan terisolasi di dunia, "constructionism" menekan bahwa yang Papert sebut “belajar belajar” adalah pengalaman pendidikan dasar. Sebuah komputer dapat enabel secara unik "belajar belajar" karena memberi kesempatan ke anak-anak untuk “berpikir mengenai pikiran”, secara yang tidak mungkin dengan cara lain. Mereka menggunakan komputer XO sebagai jendela ke dunia, sambil sebagai alat yang sangat dapat diprogram untuk membuka dunia, anak-anak di negara yang sedang berkembang akan membuka pengetahuan yang luas dan kreativitas mereka sendiri dan potensi untuk "problem-solving".

OLPC bukan, di harti, program teknologi, dan XO juga tidak sebagai produk di dalam arti produk secara konvensional. OLPC adalah organisasi "non-profit" yang menyediakan "means to an end" solusi yang dapat melihat anak-anak di daerah yang sangat terisolasi di dunia diberikan kesempatan untuk menggunakan dan meningkatkan potensi mereka sendiri, dan mengakses dunia idea-idea dari seluruh dunia, dan berkontribusi untuk membuat dunia yang lebih produktif dan sehat mental.
Di Atas: Pilihan bagian-bagian dari www.laptop.org

Di Bawah: Pilihan bagian-bagian dari www.engadget.com

Ubuntu dipasang di OLPC XO
Posted Jan 14th 2008 12:48PM by Donald Melanson
Ubuntu Untuk mereka yang mencari sesuatu yang kurang nostalgik dari Amiga OS untuk memasang di OLPC XO mereka mungkin ingin membaca "OLPC News website", yang sekarang mempunyai dua tutorial berlangkah-langkah untuk memasang Ubuntu di OLPC XO. Seperti anda barangkali terbak, dua-duanya pilihan tidak begitu mudah di instal, tetapi seharusnya cukup mudah untuk seorang yang punya sedikit pengalaman dengan Linux. Anda juga akan perlu lebih dari laptopnya dan CD Ubuntu untuk memasang Ubuntu -- yang diperlui adalah, USB drive atau SD card dengan paling sedikit 600MB memori dan komputer lain yang pakai Linux -- tetapi kami merasa keperluan ini tidak akan sebagai masalah untuk orang yang ingin memindah ke OS yang "kurang anak-friendly".
[Gambar oleh moocapiean]
OLPC, Microsoft bekerjasama untuk dual-boot Windows / Linux system
Posted Jan 9th 2008 12:21PM by Donald Melanson

Dual-Boot Windows/Linux We already knew Microsoft was at least toying around with putting Windows on the OLPC XO, but it looks like things have just gotten quite a bit more serious, with the OLPC folks now saying that they're working "very closely" with Microsoft to develop a dual-boot Windows / Linux system for the laptop. What's more, Nick Neg himself reportedly said that the version of Windows that's now up and running on the XO is "very fast" and "very, very successful." There's no word just yet as to when we might actually see such a system be released, however, but OLPC is apparently now talking with Microsoft and "possibly" the Bill & Melinda Gates Foundation about putting the XO to use in some of the education programs Microsoft runs in developing countries, a possibility that Negroponte says is "really cooking at the moment."

Sekolah-sekolah di Birmingham, Alabama akan menerima 15.000 OLPC XOs
Posted Dec 5th 2007 7:29AM by Darren Murph

Birmingham Buys 15,000 XOS If you (or your kiddo) just happens to be a first through eighth grader in Birmingham, Alabama, you (or your offspring) will soon be playing with an XO during regularly scheduled class time. Mayor Larry Langford has recently announced that a $3 million deal was signed in order to bring in one laptop per child for the aforementioned grades, or 15,000 XOs in total. Apparently, the schools will become the first in the nation to receive heaps of the low-cost lappies, which were sold to the district at $200 a pop. As for logistics, students can expect to receive their machine on April 15, 2008, and while pupils will be allowed to take 'em home, the school system can and will disable any that inexplicably "disappear."

[Gambar oleh OLPCNews]

OLPC XO dan iRobot Create dibersamakan untuk hack telepresence
Posted Nov 14th 2007 2:53PM by Donald Melanson

OLPC XO / iRobot Create Combo While the project is still classified as "ongoing," Damon Kohler nonetheless looks to have made some considerable progress in his OLPC XO / iRobot Create combo, which together forms a makeshift telepresence robot. Among other things, if you decide to build your own, you'll apparently be able to control the robot via a web interface, and make use of the OLPC's webcam and microphone to monitor its surroundings. Some of the more recent additions include some text-to-speech capabilities to totally freak out your pets, and a high-tech night vision system (pictured above). If that's enough to tempt you, hit up the links below for the complete details on how to put together your own.

[Lewat Gadget Lab]

OLPC Memberi Satu, Menerima Satu program diperpanjang -- rata-rata $2M sales/hari
Posted Nov 22nd 2007 7:47AM by Thomas Ricker

Buy One, Give One Negroponte's OLPC Buy One, Give One program has been extended to 31 December, 2007 -- well beyond the initial two-weeks originally announced. The deal buys both yourself (or rather, your kid supposedly) and a tot from a developing nation new XOs for just $399. Already, the non-profit claims to be pulling in about $2 Million worth of "donations" each day. They've also opened up bulk buying to schools in quantities of 100-999 ($299 each), 1000-9999 ($249 each), or 10,000 and more ($199). Oh, and the program is now officially renamed "Give One, Get One" (GoGo) -- we presume BoGo'ing the kids sounded too icky.

Siswa SMA 70 Bantah Telah Terjadi Kekerasan pada Rekan Jeniornya

JAKARTA, RIMANEWS - Sejumlah orangtua murid SMA 70, Bulungan, Jakarta Selatan, mendatangi Komisi Nasional Perlindungan Anak untuk melaporkan dugaan kekerasan yang dilakukan oleh senior anaknya di sekolah.
Para orangtua resah dengan adanya kekerasan yang diduga menjadi budaya di sekolah berstandar internasional itu.
Menanggapi tudingan, Ketua Perwakilan Kelas SMA 70, Rilo menegaskan kasus yang terjadi antara siswa kelas tiga dan kelas satu sudah terselesaikan.
Masalah itu, kata dia, sebenarnya hanya masalah personal biasa. "Kami sudah selesaikan hari itu juga, dan saya pikir ini hanya masalah personal biasa. Saya kaget saja ketika ini menjadi konsumsi publik, karena memang tidak ada kekerasan," kata Rilo saat ditemui di sekolahnya.
Rilo yang merupakan siswa kelas tiga ini menjelaskan permasalahan tersebut dapat diselesaikan secara internal sebagai langkah awal.
Ke depannya, ia menunggu kebijakan sekolah untuk melakukan mediasi antara keluarga dan siswa.
"Kami siap kok bertemu dan ngobrol bersama orang tua siswa tersebut. Bisa dibicarakan ada masalah apa, nanti dibicarakan dan selesaikan secara kekeluargaan. Ya nanti kami lihat dulu sekolah bersikap seperti apa," ucapnya.
Ia mengungkapkan hubungan yang terjalin antara senior dan junior di sekolah berjalan harmonis. Rilo membenarkan adanya bimbingan dan ajaran yang mereka berikan kepada adik kelas.
"Doktrin kekerasan itu tidak ada. Malah kalau anak kelas satu diserang sama sekolah lain, maka kelas tiga yang pasang badan duluan. Kalau ada kegiatan Bulungan Cup kami memang mengajarkan semua siswa untuk mandiri cari dana, dan itu semua tidak ada perbedaan atau tekanan," paparnya.
Selain itu, dia juga membantah adanya sebuah ruangan yang khusus digunakan siswa senior untuk 'menekan' adik kelas.
"Tidak ada. Semua ruangan ya dipakai bersama seperti laboratorium, kantin, perpustakaan, kelas. Ospek di luar MOS juga tidak ada. Alumni paling bertemu di acara ulang tahun sekolah," ungkap Rilo. [mam/viva]

Pendidikan Memihak Siapa?

PENDIDIKAN setiap bangsa mesti memiliki ideologi, yaitu keyakinan, nilai, cita-cita, visi, dan metode untuk meraihnya yang setia memajukan bangsa dan negaranya.
Dengan demikian, sebuah proses pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan dan mendorong siswa agar membuat persiapan untuk menjawab pertanyaan ketika musim ulangan dan ujian tiba. Ada empat domain pokok yang mesti dipahami dan menjadi acuan dalam setiap proses pendidikan di Indonesia, yaitu agar setiap siswa mengenal dan memahami potensi dirinya sehingga merasa mantap nantinya ketika memilih satu jurusan yang sesuai dengan bakat dan minatnya.
Kedua, mengenal karakter dan potensi daerahnya yang potensial untuk dipelihara dan dikembangkan. Ketiga, memahami sejarah dan jati diri bangsanya untuk dijaga kehormatannya dan dimakmurkan rakyatnya. Keempat, guru dan siswa juga perlu memiliki wawasan regional-global meskipun sekilas mengenai apa yang tengah dan akan terjadi pada tingkat internasional.
Keempat domain itu sangat penting dimiliki oleh setiap siswa karena nantinya mereka akan menerima estafet kepemimpinan dan kepemilikan bangsa ini. Tapi disayangkan, suasana batin pendidikan sekarang ini lebih banyak diributkan oleh hal-hal administratif dan heboh ujian nasional yang materinya sangat kognitif. Menarik diteliti, seberapa dalam dan kuat pemahaman serta kecintaan remaja kita terhadap sejarah dan jati diri bangsanya dengan materi dan kultur pendidikan yang berlangsung selama ini.
Saya agak pesimistis lantaran kurikulum dan kultur pendidikan yang ada sekarang kurang menanamkan nilai-nilai patriotisme karena pelajaran sejarah dan ketatanegaraan agak terpinggirkan. Sekolah lebih fokus pada persiapan untuk menghadapi ujian nasional. Sejarah, semangat, dan nilai-nilai yang menjiwai kelahiran republik ini tidak cukup dipahami para siswa. Rasa pemihakan serta kecintaan kepada rakyat kecil dan Tanah Air kurang tertanam di hati para siswa dan hal ini bisa jadi terbawa sampai besar.
Pernah dilakukan survei bahwa para sarjana ketika mencari kerja yang paling diminati adalah bergabung ke kantor penjual jasa dengan gaji besar, kurang mempertimbangkan apakah perusahaan itu prorakyat Indonesia ataukah tidak. Siapakah pemilik perusahaan dan seberapa besar pemihakannya pada kepentingan Indonesia kurang menjadi pertimbangan. Dengan kata lain, siapa yang mau membayar lebih tinggi akan menjadi pilihan pertama dan utama.
Jika sikap pragmatisme seperti itu dominan pada pikiran para siswa dan sarjana kita, logis bila banyak modal asing seenaknya beroperasi di Indonesia dan menggeser usaha-usaha nasional-pribumi. Tanpa adanya pemihakan ideologis terhadap kepentingan dan harga diri bangsa sendiri yang ditanamkan sejak sekolah dan berlanjut pada jenjang perguruan tinggi serta kultur perusahaan, daya tahan ekonomi dan budaya Indonesia semakin rapuh.
Rumor yang beredar, suap itu tidak saja berlangsung di lingkungan aktor politik, birokrat, dan pengusaha Indonesia, tetapi tak kalah menggiurkan adalah kekuatan luar yang sengaja ingin mendominasi dan menjerat politik ekonomi bangsa ini. Potensi kekayaan alam yang semasa Bung Karno masih diproteksi, sekarang diobral murah pada modal asing dengan pembagian untung yang sangat tidak sepadan. Orang terjebak berpikir pendek untuk memenuhi kepentingan sesaat dan kelompok kecilnya saja dengan mengorbankan aset dan harga diri bangsa dan rakyatnya. Para calon bupati, wali kota, dan gubernur degan tega dan tidak tahu malu meracuni rakyat dengan membagi uang agar dirinya dipilih.
Tindakan ini telah mencederai harga dirinya, rakyatnya, proses demokrasi, dan pada urutannya menyebarkan virus pembusukan ke dalam kultur politik kita. Yang tidak terpantau oleh rakyat adalah transaksi tingkat tinggi yang berlangsung lintas negara. Lagi-lagi, pertanyaan yang mesti kita renungkan adalah seberapa besar pemihakan kita baik dalam dunia pendidikan, ekonomi maupun politik terhadap martabat dan jati diri bangsa sendiri? Bagaimana kita menyikapi pemberitaan tenaga kerja wanita (TKW) yang telantar dan tersiksa di Timur Tengah? Belum lagi nasib petani dan perajin yang terdesak oleh produk impor.
Esai ini ingin mengajak pembaca untuk melihat kembali, sudah tepatkah strategi pendidikan kita untuk menanamkan nilai-nilai cinta Tanah Air, kekayaan budaya sendiri, dan pemihakan kepada rakyat serta martabat bangsanya? Saya tetap pada prinsip, setiap proses pendidikan mesti ada evaluasi semacam ujian. Hanya saja perlu diingat, ujian adalah bagian dari proses pendidikan dan pembentukan karakter, bukan tujuan akhir dari proses pembelajaran siswa sehingga seluruh perhatian guru dan murid diarahkan ke ujian nasional.(ach/OZ)

Pendidikan tak Berguna Tanpa Kebebasan Berpendapat

Kairo – Bulan lalu saya diundang ikut serta dalam The Doha Debates, sebuah forum yang disiarkan di televisi di mana para pakar berdebat tentang topik-topik paling kontroversial di kawasan, untuk membahas pernyataan: “Pendidikan tidak berguna tanpa kebebasan berpendapat”. Sepintas, orang bisa buru-buru menyetujui pernyataan yang disodorkan ini. Tentu kebebasan berpendapat adalah sesuatu yang berguna dan merupakan cita-cita luhur yang nyaris tak bisa ditentang, khususnya dalam konteks seperti di dunia Arab, di mana lingkungan yang sangat mengekang dapat menambah ketidaknyamanan akibat lumpuhnya kebebasan warga.
Tapi bila dibaca saksama, redaksi pernyataan itu membutuhkan analisis yang lebih dalam mengenai apa yang disiratkannya. Ini adalah mengenai kegunaan pendidikan, atau ketidakgunaan pendidikan sama sekali di tengah keabsenan kebebasan berpendapat. Ini bukan tentang sejauh mana pendidikan itu berguna. Pendidikan dalam situasi seperti itu, menurut tema debat tersebut, adalah bernilai atau tidak bernilai sama sekali.
Dan itulah mengapa saya tidak setuju dengan pernyataan yang diajukan.
Saya berpendapat bahwa tak peduli sejauh apa kebebasan berpendapat dibatasi, pendidikan tetap menjadi katalisator perubahan. Pendidikan membantu menciptakan dan memperluas kebebasan di semua lapisan – politik, sosial, budaya dan ekonomi. Pendidikan mendorong pembangunan manusia. Bahkan bila menghadapi kekangan-kekangan paling keras sekalipun, pendidikan tetap bisa membangun lumbung modal intelektual yang, tatkala berpadu dengan kreativitas, imajinasi dan kehendak alamiah manusia, bisa memunculkan kebebasan yang tumbuh dengan sendirinya.
Tema debat menyiratkan pendidikan bisa berfungsi bila ada kebebasan berpendapat. Saya berpandangan bahwa kebebasan itu sendiri adalah produk dari pendidikan. Apa yang melahirkan para bloger Mesir dan aktivis Tunisia kalau bukan sistem pendidikan di sana? Bagaimana perempuan Mesir yang mengikuti program pemberantasan buta aksara bisa mulai melaporkan pelecehan yang mereka terima begitu mereka mulai belajar cara membaca dan menulis? Dan mengapa persentase perempuan Mesir yang menentang khitan untuk perempuan, lebih tinggi di kalangan terpelajar ketimbang yang buta aksara?
Salah satu lawan debat saya, Tariq Ramadan dari Oxford University, berpandangan bahwa pendidikan tanpa kebebasan berpendapat hanya menghasilkan “beo dan domba”. Saya sepenuhnya menolak argumen ini. Pandangan itu mengecilkan kapasitas pikiran manusia dan kemampuan alamiahnya untuk menyelidiki, mempertanyakan dan menentang. Pandangan itu mengasumsikan adanya warganegara tak berdaya yang tak punya potensi untuk memahami atau meminta keterangan.
Sebaliknya, saya punya keyakinan kuat pada kekuatan inheren akal manusia dan potensi kreativitas dan imajinasinya yang tak terbatas, tak peduli seberapa dikekangnya. Tidaklah bisa diterima kalau kita mengira bahwa siswa sepasif itu, khususnya di dunia sekarang di mana pengetahuan dapat diraih dari berbagai sumber yang beragam, dan teknologi membuat proses belajar lebih demokratis.
Pendidikan menciptakan kebebasan sejati yang terbangun dari dalam, tidak didiktekan dari atas oleh pemerintah atau, yang lebih buruk lagi, dipaksakan oleh pemerintah asing yang mendukung rezim-rezim otoriter ini sembari mengekang kebebasan warganegara mereka sendiri.
Dan pendidikan menyelamatkan nyawa. Pendidikan yang dijuluki “vaksin sosial” untuk AIDS, sangat dibutuhkan di Afrika sub-Sahara, di mana ada 22 dari 33 juta orang dewasa dan anak-anak terkena HIV/AIDS di dunia. Memiliki pendapat bahwa bernilainya pendidikan itu menunggu stempel pengesahan dari kebebasan berbicara, dalam konteks itu berarti salah tangkap.
Pendidikan juga membantu memberi penghidupan. Lawan debat saya yang lain, Dennis dari University of Derby, berpendapat bahwa di tengah absennya kebebasan berbicara, pendidikan direduksi menjadi “sekadar pelatihan”. Saya pun bertanya, “Tidak bergunakah pelatihan yang membantu orang mendapat pekerjaan, memenuhi kebutuhan pokok dan memperoleh penghasilan bagi diri dan keluarganya, yang menaikkan martabat dan harga diri selaras dengan konsep Penerima Nobel Amartya Sen “pembangunan sebagai kebebasan”?”
Pendidikan memang semakin bernilai bila kebebasan diperluas dalam ranah teknologi, kesehatan, pekerjaan, sistem pendidikan, infrastruktur dan kurikulum.
Tapi tema debat itu bukan soal korelasi positif ini. Pernyataan yang dibahas adalah tentang titik tolok. Pernyataan itu mengandaikan kaitan positif ini dimulai sejak awal, di mana tidak adanya kebebasan sama sekali, juga berarti tidak bergunanya pendidikan sama sekali. Sementara, saya berpendapat bahwa korelasi positif ini dimulai di suatu perlintasan di mana, tanpa kebebasan sekalipun, pendidikan tetap akan menjadi lumbung nilai.
Pendidikan berguna dengan sendirinya, sekaligus berguna bagi dirinya sendiri. Di tengah tidak adanya kebebasan berpendapat, pendidikan mungkin menjadi kurang berguna, tapi pendidikan tidak pernah menjadi tidak berguna.
Dalam konteks yang lebih luas, debat ini adalah ajakan untuk mengurai kerumitan pengembangan kenyataan untuk melampaui yang telah dianggap jelas dan mapan. Ini adalah perbincangan penting bagi para pembuat kebijakan di ranah agenda pembangunan, di mana sering penilaian tentang kebutuhan pun dipolitisasi, dan di mana perhatian pada hal-hal empiris bisa mendukung adanya program yang lebih arif dan intervensi yang efektif.
###
* Nagla Rizk ialah Pembantu Dekan, guru besar madya ilmu ekonomi, dan Direktur Access to Knowledge for Development Center di School of Business, American University in Cairo. Ia adalah salah satu penyusun The Arab Knowledge Report 2009. Artikel ringkasan ini disebarluaskan oleh Kantor Berita Common Ground (CGNews) seizin penulis.

Bendera kuning pendidikan nasional

Bangsa besar adalah bangsa yang maju secara pendidikan. Pendapat itu agaknya sulit terbantahkan mengingat pendidikan sebagai fondasi dasar pembangunan. Keinginan mengembangkan potensi SDM banyak diwarnai kebijakan pendidikan. Tidak heran, banyak negara di dunia memprioritaskan anggaran pendidikan lebih besar dibandingkan sektor lainnya.
Kepedulian terhadap pendidikan memang layak diapresiasi tinggi. Kita sudah melihat bagaimana kemiskinan, kebodohan dan kriminalitas dilahirkan akibat terpinggirkan kualitas pendidikan. Lemahnya pengawasan (control) terhadap dunia pendidikan berbanding lurus kehancuran suatu bangsa.
Tepat rasanya kita mengambil teladan dari bangsa Jepang.  Pasca kekalahan telak Perang Dunia, Jepang secepatnya membenahi dunia pendidikan. Secara massif pemerintah Jepang meningkatkan kualitas guru dan melakukan ekspansi besar – besar penerjemahan buku. Sehingga pelan terjadi kebangkitan pendidikan, ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat Jepang.
Indonesia sebagai sebuah bangsa sendiri tidak sepantasnya tertinggal dari Jepang. Sebab pendidikan Indonesia mengandung banyak potensi keunggulan seperti sudah dilegalkan konstitusi, jumlah penduduk yang melimpah dan menjamurnya universitas. Mengutip Paulo Freire “ pendidikan adalah alat mencerdaskan manusia” Jadi misi mencerdaskan kehidupan bangsa seharusnya dapat dilaksanakan.
Ironisnya dalam percaturan pendidikan dunia, kualitas pendidikan Indonesia masih tertinggal jauh. Berdasarkan data Global Competitive Country, pendidikan Indonesia menempati peringkat 50 dunia. Tertinggal jauh dari Malaysia (peringkat 26) dan Thailand (peringkat 30).
Dalam kesempatan lain, UNESCO dalam Education Development Index menyatakan bahwa, tingkat perkembangan pendidikan Indonesia terletak pada peringkat 102 dunia. Tidak kalah mengerikan, bebas buta aksara masyarakat indonesia berada pada peringkat 95 sebesar 87,9%.
Kenyataan itu tentu meninggalkan keprihatinan mendalam, sebab pemerintah masih kurang serius membenahi dunia pendidikan nasional. Malaysia dulu banyak mengirimkan pelajar ke Indonesia agar pembangunan Malaysia meningkat. Kondisi sekarang terbalik, banyak pelajar Indonesia justru bangga belajar di Malaysia.
Selain faktor lemahnya daya saing, kelemahan politik anggaran pendidikan dituding mengakibatkan kegagalan pendidikan Indonesia. Amanat konstitusi agar pemerintah memberikan suplai 20% anggaran negara tidak pernah tercapai. Konsekuensinya, pendidikan menjadi mahal dan hanya dapat dinikmati kalangan mampu.
Repotnya, pemerintah tidak mau sadar diri dan bertindak angkuh. Presiden SBY misalnya mengatakan sudah memenuhi 20% anggaran pendidikan. Salah satunya menaikkan gaji guru dalam mata anggaran pendidikan nasional. Kalangan eksekutif berharap, kenaikan gaji meningkatkan kualitas pengajaran dan membungkam suara kritis kaum Oemar Bakri.
Tapi fakta lapangan membuktikan lain. Kesuksesan menaikkan kesejahteraan guru akhir – akhir ini menjadi bumerang. Sebab pencairan gaji guru berjalan terlambat akibat tarik menarik kepentingan penguasa. Tidak heran, banyak organisasi profesi guru memprotes penundaan gaji. Sekali lagi, pemerintah melanggar janjinya dan kebijakan yang dilahirkan hanya politik citra.
Kebijakan pendidikan setengah hati menandakan matinya nurani penguasa. Tidak heran, wajah pendidikan Indonesia semakin buram. Guru hanya dieksploitasi julukan manis pahlawan tanda tanda jasa. Ironis jasanya tidak terbayar, kesejahteraanya terus dirampas.

Pembelajaran Berdasarkan Masalah

Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Learning/PBL) adalah suatu model pembelajaran yang didasarkan pada prinsip menggunakan masalah sebagai titik awal akuisisi dan integrasi pengetahuan baru. Model pembelajaran ini pada dasarnya mengacu kepada pembelajaran-pembelajaran mutakhir lainnya seperti pembelajaran berdasar proyek (project based instruction), pembelajaran berdasarkan pengalaman (experience based instruction), pembelajaran autentik (authentic instruction), dan pembelajaran bermakna.
Pembelajaran Berdasarkan  Masalah
Berbeda  dengan  pembelajaran penemuan (inkuiri-diskoveri) yang lebih menekankan pada masalah akademik.  Dalam Pembelajaran Berdasarkan  Masalah (Problem Based Learning), pemecahan masalah didefinisikan sebagai proses atau upaya untuk mendapatkan suatu penyelesaian tugas atau situasi yang benar-benar nyata sebagai masalah dengan menggunakan aturan-aturan yang sudah diketahui. Jadi,  Pembelajaran Berdasarkan  Masalah (Problem Based Learning)  lebih  memfokuskan  pada masalah kehidupan nyata yang bermakna bagi siswa.
B.     Alasan Pembelajaran Berdasarkan  Masalah
Beberapa alasan mengapa Pembelajaran Berdasarkan  Masalah (Problem Based Learning) digunakan dalam proses pembelajaran:
  1. Seorang lulusan tidak dapat menaggulangi masalah yang dihadapinya hanya dengan menggunakan satu disiplin ilmu. Ia harus mampu menggunakan dan memadukan ilmu-ilmu pengetahuan yang telah dipunyai atau mencari ilmu pengetahuan yang dibutuhkannya dalam rangka menanggulangi masalahnya. Melalui Pembelajaran Berdasarkan  Masalah (Problem Based Learning) yang diawali dengan pemberian masalah pemicu kepada  siswa dapat menerapkan suatu model pembelajaran secara spiral (spiral learning model) dengan memilih konsep dan prinsip yang terdapat dalam sejumlah cabang ilmu, sesuai kebutuhan masalah. Dengan diberi sejumlah masalah pemicu, diharapkan sebagian besar/seluruh materi cabang ilmu dicakup.
  2. Integrasi antara berbagai konsep/prinsip/informasi cabang ilmu dapat terjadi
  3. Kemampuan mahasiswa untuk secara terus menerus melakukan “up-dating”/pengembangan pengetahuannya tercapai
  4. Perilaku sebagai seorang “ life long learner” dapat tercapai
  5. Langkah-langkah PBL yang dilaksanakan melalui diskusi kelompok dapat menghasilkan sejumlah keterampilan  diantaranya: (a) keterampilan  penelusuran kepustakaan; (b) keterampilan  membaca; (c) keterampilan/kebiasaan membuat catatan; (d) kemampuan kerjasama dalam kelompok; (e) keterampilan  berkomunikasi; (f) keterbukaan; (g) berpikir analitik; (h) kemandirian dan keaktifan belajar; dan (i) wawasan dan keterpaduan ilmu pengetahuan
  6. Dapat mengimbangi kecepatan informasi atau ilmu pengetahuan yang sangat cepat.
C.    Ciri dan Karakteristik Pembelajaran Berdasarkan  Masalah
Pembelajaran Berdasarkan  Masalah (Problem Based Learning) memiliki beberapa ciri dan karakteristik sebagai berikut:
  1. Mengorientasikan siswa kepada masalah autentik dan menghindari pembelajaran terisolasi
  2. Berpusat pada siswa dalam jangka waktu lama
  3. Menciptakan pembelajaran interdisiplin,
  4. Penyelidikan masalah autentik yang terintegrasi dengan dunia nyata dan pengalaman praktis .
  5. Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya
  6. Mengajarkan kepada siswa untuk mampu menerapkan apa yang mereka pelajari di sekolah dalam kehidupannya yang panjang
  7. Pembelajaran terjadi pada kelompok kecil (kooperatif).
  8. Guru berperan sebagai fasilitator, motivator dan pembimbing.
  9. Masalah diformulasikan untuk memfokuskan dan merangsang pembelajaran
  10. Masalah adalah kendaraan untuk pengembangan keterampilan pemecahan masalah.
  11. Informasi baru diperoleh lewat belajar mandiri.
D.    Keunggulan Pembelajaran Berdasarkan  Masalah
Pembelajaran Berdasarkan  Masalah (Problem Based Learning) memiliki beberapa keunggulan, diantaranya: (1) siswa lebih memahami konsep yang diajarkan sebab mereka sendiri yang menemukan konsep tersebut; (2) melibatkan secara aktif memecahkan masalah dan menuntut keterampilan berpikir siswa yang lebih tinggi; (3) pengetahuan tertanam berdasarkan skemata yang dimiliki siswa sehingga pembelajaran lebih bermakna; (4) siswa dapat merasakan manfaat pembelajaran sebab masalah-masalah yang diselesaikan langsung dikaitkan dengan kehidupan nyata, hal ini dapat meningkatkan motivasi dan ketertarikan siswa terhadap bahan yang dipelajari; (5) menjadikan siswa lebih mandiri dan dewasa, mampu memberi aspirasi dan menerima pendapat orang lain, menanamkan sikap sosial yang positif diantara siswa; dan (6) pengkondisian siswa dalam belajar kelompok yang saling berinteraksi terhadap pembelajar dan temannya sehingga pencapaian ketuntasan belajar siswa dapat diharapkan.
Selain itu, Pembelajaran Berdasarkan  Masalah (Problem Based Learning) diyakini pula dapat menumbuhkan-kembangkan kemampuan kreatifitas siswa, baik secara individual maupun secara kelompok karena hampir di setiap langkah menuntut adanya keaktifan siswa.
Keberhasilan model Pembelajaran Berdasarkan  Masalah (Problem Based Learning)  sangat tergantung pada ketersediaan sumber belajar bagi siswa, alat-alat untuk menguji jawaban atau dugaan. Menuntut adanya perlengkapan praktikum, memerlukan waktu yang cukup apalagi data harus diperoleh dari lapangan, serta kemampuan guru  dalam mengangkat dan merumuskan masalah.
Dalam model Pembelajaran Berdasarkan  Masalah (Problem Based Learning)  ini,  guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator, pembimbing dan motivator. Guru mengajukan masalah otentik/mengorientasikan siswa kepada permasalahan nyata (real world), memfasilitasi/membimbing (scaffolding) dalam proses penyelidikan, memfasilitasi dialog antara siswa, menyediakan bahan ajar siswa serta memberikan dukungan dalam upaya meningkatkan temuan dan perkembangan intektual siswa.
E.     Langkah-langkah  Pembelajaran Berdasarkan  Masalah
Pengelolaan Pembelajaran Berdasarkan  Masalah terdapat 5 langkah utama. yaitu: (1)  mengorientasikan siswa pada masalah; (2)  mengorganisasikan siswa untuk belajar; (3) memandu menyelidiki secara mandiri atau kelompok; (4)  mengembangkan dan menyajikan hasil kerja; dan (5)  menganalisis dan mengevaluasi hasil pemecahan masalah. Gambaran rinci kelima langkah tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 1. Prosedur Pembelajaran Berdasarkan   Masalah
Langkah
Kegiatan Guru
Orientasi masalah
  • Menginformasikan tujuan pembelajaran
  • Menciptakan lingkungan kelas yang memungkinkan terjadi pertukaran ide yang terbuka
  • Mengarahkan pada pertanyaan atau masalah
  • Mendorong siswa mengekspresikan ide-ide secara terbuka
Mengorganisasikan siswa untuk belajar
  • Membantu siswa menemukan konsep berdasar masalah
  • Mendorong keterbukaan, proses-proses demokrasi dan cara belajar siswa aktif
  • Menguji pemahaman siswa atas konsep yang ditemukan
Membantu menyelidiki secara mandiri atau kelompok
  • Memberi kemudahan pengerjaan siswa dalam mengerjakan/menyelesaikan masalah
  • Mendorong kerjasama dan penyelesaian tugas-tugas
  • Mendorong dialog, diskusi dengan teman
  • Membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas-tugas belajar yang berkaitan dengan masalah
  • Membantu siswa merumuskan hipotesis
  • Membantu siswa dalam memberikan solusi
Mengembangkan dan menyajikan hasil kerja
  • Membimbing siswa mengerjakan lembar kegiatan siswa (LKP)
  • Membimbing siswa menyajikan hasil kerja
Menganalisa dan mengevaluasi hasil pemecahan
  • Membantu siswa mengkaji ulang hasil pemecahan masalah
  • Memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemcahan masalah
  • Mengevaluasi materi

Peran Guru Sebagai Pembimbing

Perubahan paradigma pembelajaran dari pembelajaran pasif (teacher-centered) ke pembelajaran aktif (student-centered), menghendaki adanya perubahan peran guru dalam proses pembelajaran. Salah satu peran yang harus dijalankan guru adalah sebagai pembimbing. Peran guru sebagai pembimbing pada dasarnya adalah peran guru dalam upaya membantu siswa  agar dapat mengembangkan segenap potensi yang dimilikinya melalui hubungan interpersonal yang akrab dan saling percaya. Wina Senjaya (2006) menyebutkan salah satu peran yang dijalankan oleh guru yaitu sebagai pembimbing dan untuk menjadi pembimbing baik guru harus memiliki pemahaman tentang anak yang sedang dibimbingnya.
Peran Guru Sebagai Pembimbing
Guru berusaha membimbing siswa agar dapat menemukan berbagai potensi yang dimilikinya, membimbing siswa agar dapat mencapai dan melaksanakan tugas-tugas perkembangan mereka, sehingga dengan ketercapaian itu ia dapat tumbuh dan berkembang sebagai individu yang mandiri dan produktif.  Siswa adalah individu yang unik. Artinya, tidak ada dua individu yang sama. Walaupun secara fisik mungkin individu memiliki kemiripan, akan tetapi pada hakikatnya mereka tidaklah sama, baik dalam bakat, minat, kemampuan dan sebagainya. Di samping itu setiap individu juga adalah makhluk yang sedang berkembang. Irama perkembangan mereka tentu tidaklah sama juga. Perbedaan itulah yang menuntut guru harus berperan sebagai pembimbing.
Hubungan guru dan siswa seperti halnya seorang petani dengan tanamannya. Seorang petani tidak bisa memaksa agar tanamannya cepat berbuah dengan menarik batang atau daunnya. Tanaman itu akan berbuah manakala ia memiliki potensi untuk berbuah serta telah sampai pada waktunya untuk berbuah. Tugas seorang petani adalah menjaga agar tanaman itu tumbuh dengan sempurna, tidak terkena hama penyakit yang dapat menyebabkan tanaman tidak berkembang dan tidak tumbuh dengan sehat, yaitu dengan cara menyemai, menyiram, memberi pupuk dan memberi obat pembasmi hama. Demikian juga halnya dengan seorang guru. Guru tidak dapat memaksa agar siswanya jadi ”itu” atau jadi ”ini”. Siswa akan tumbuh dan berkembang menjadi seseorang sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya. Tugas guru adalah menjaga, mengarahkan dan membimbing agar siswa tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi, minat dan bakatnya. Inilah makna peran sebagai pembimbing. Jadi, inti dari peran guru sebagai pembimbing adalah terletak pada kekuatan intensitas hubungan interpersonal antara guru dengan siswa yang dibimbingnya
Lebih jauh, Abin Syamsuddin (2003) menyebutkan bahwa guru sebagai pembimbing dituntut untuk mampu mengidentifikasi siswa yang diduga mengalami kesulitan dalam belajar, melakukan diagnosa, prognosa, dan kalau masih dalam batas kewenangannya, harus membantu pemecahannya (remedial teaching).  Berkenaan dengan upaya membantu mengatasi kesulitan atau masalah siswa, peran guru tentu berbeda dengan peran yang dijalankan oleh konselor profesional. Sofyan S. Willis (2004) mengemukakan tingkatan masalah siswa yang mungkin bisa dibimbing oleh guru yaitu masalah yang termasuk kategori ringan, seperti: membolos, malas, kesulitan belajar pada bidang tertentu, berkelahi dengan teman sekolah, bertengkar, minum minuman keras tahap awal, berpacaran, mencuri kelas ringan.
Dalam konteks organisasi layanan Bimbingan dan Konseling, di sekolah, peran dan konstribusi guru sangat diharapkan guna kepentingan efektivitas dan efisien pelayanan Bimbingan dan Konseling di sekolah. Prayitno (2003) memerinci peran, tugas dan tanggung jawab guru-guru mata pelajaran dalam bimbingan dan konseling adalah :
  • Membantu memasyarakatkan pelayanan bimbingan dan konseling kepada siswa.
  • Membantu konselor mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan layanan bimbingan dan konseling, serta pengumpulan data tentang siswa-siswa tersebut.
  • Mengalihtangankan siswa yang memerlukan pelayanan bimbingan dan konseling kepada konselor.
  • Menerima siswa alih tangan dari konselor, yaitu siswa yang menuntut konselor memerlukan pelayanan khusus. seperti pengajaran/latihan perbaikan,  dan program pengayaan.
  • Membantu mengembangkan suasana kelas, hubungan guru-siswa dan hubungan siswa-siswa yang menunjang pelaksanaan pelayanan pembimbingan dan konseling.
  • Memberikan kesempatan dan kemudahan kepada siswa yang memerlukan layanan/kegiatan bimbingan dan konseling untuk mengikuti /menjalani layanan/kegiatan yang dimaksudkan itu.
  • Berpartisipasi dalam kegiatan khusus penanganan masalah siswa, seperti konferensi kasus.
  • Membantu pengumpulan informasi yang diperlukan dalam rangka penilaian pelayanan bimbingan dan konseling serta upaya tindak lanjutnya.
Jika melihat realita bahwa di Indonesia jumlah  tenaga konselor profesional memang masih relatif terbatas, maka  peran guru sebagai pembimbing tampaknya menjadi penting. Ada atau tidak ada konselor profesional  di sekolah, tentu   upaya pembimbingan terhadap siswa mutlak diperlukan. Jika kebetulan di sekolah sudah tersedia tenaga konselor profesional, guru bisa bekerja sama dengan konselor bagaimana seharusnya membimbing siswa di sekolah. Namun jika belum, maka kegiatan pembimbingan siswa tampaknya akan bertumpu pada guru.
Agar guru dapat mengoptimalkan perannya sebagai pembimbing, berikut ini  beberapa hal yang perlu diperhatikan:
  1. Guru harus memiliki  pemahaman tentang anak yang sedang dibimbingnya. Misalnya pemahaman  tentang gaya dan kebiasaan belajar serta pemahaman tentang potensi dan bakat yang dimiliki anak, dan latar belakang kehidupannya. Pemahaman ini sangat penting, sebab akan menentukan teknik dan jenis bimbingan yang harus diberikan kepada mereka.
  2. Guru dapat memperlakukan siswa sebagai individu yang unik dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar sesuai dengan keunikan yang dimilikinya.
  3. Guru seyogyanya  dapat menjalin hubungan yang akrab, penuh kehangatan dan saling percaya, termasuk di dalamnya berusaha menjaga kerahasiaan data siswa yang dibimbingnya, apabila data itu bersifat pribadi.
  4. Guru senantiasa memberikan kesempatan kepada siswanya untuk mengkonsultasikan berbagi kesulitan yang dihadapi siswanya, baik ketika sedang berada di kelas maupun di luar kelas.
  5. Guru sebaiknya dapat memahami prinsip-prinsup umum konseling dan menguasai teknik-tenik dasar konseling untuk kepentingan pembimbingan siswanya, khususnya ketika siswa mengalami kesulitan-kesulitan tertentu dalam belajarnya.

Menjadi Guru Berkarakter

Upaya  implementasi pendidikan karakter di sekolah, tentu tidak lepas dari peran guru. Berdasarkan kajian teoritis maupun empiris diyakini bahwa keberhasilan pendidikan karakter salah satunya diwarnai oleh  faktor guru itu sendiri.
Barangkali atas dasar itulah, Dr. Uhar Suharsaputra, menghadirkan pemikirannya yang dituangkan dalam buku terbarunya berjudul “Menjadi Guru Berkarakter” yang diterbitkan Paramitra Publishing Yogyakarta, Agustus 2011.
Menjadi Guru Berkarakter
Buku ini menyuguhkan tentang seputar guru dan keguruan dalam perspektif yang berbeda,  baik tentang eksistensi diri sendiri, eksistensi diri dengan peserta didik, eksistensi diri dalam lingkungan organisasi dan keorganisasian, eksistensi diri dalam lingkungan masyarakat, hingga eksistensi diri dalam lingkungan ilmu pengetahuan.
Buku ini tidak berbicara pada tingkatan permukaan profesionalisme guru yang cenderung adminiistratif-formalistik, tetapi mencoba melihat lebih jauh tentang esensi guru dan keguruan sebagai landasan penting dalam pengembangan pribadi guru.
Seorang guru adalah seorang yang telah menyerahkan dirinya dalam organisasi sekolah, dia tidak bisa melakukan tindakan dan berperilaku sesuai keinginan sendiri, tetapi harus dapat menyesuaikan diri dengan peran dan tugasnya sesuai peran dan tuntutan tugas serta aturan organisasi yang menjadi kewajiban bagi seorang guru, oleh karena itu kita, GURU  HARUS TAHU ATURAN, BERSEDIA DIATUR, dan BISA MENGATUR. Tahu aturan bermakna memahami bagaimana mekanisme kerja organisasi, dengan pemahaman itu maka seorang guru harus mau dan bisa diatur sesuai dengan mekanisme yang berlaku, serta harus bisa mengatur dalam arti mengelola secara optimal apa yang menjadi peran dan tugasnya dalam organisasi sekolah
Demikian, sepenggal kalimat yang terungkap dalam isi buku yang berkaitan dengan sikap dan perilaku guru dalam organisasi sekolah. Sementara berkaitan dengan bersikap dan bergaul dengan siswa, dikatakan bahwa:
Guru adalah pelayan mereka untuk mengantarnya pada masa depan yang lebih baik dalam hidup dan kehidupan, dalam ketidakpastian masa depan yang mungkin sedikit dapat dipastikan…
Siswa adalah manusia utuh, maka terimalah dia apa adanya. Siswa adalah individu yang utuh dengan keseluruhan sikap, prilaku, kepribadian serta latar belakang sosial budayanya. Kita tidak bergaul, berinteraksi dengan salah satu aspeknya saja tetapi dengan keseluruhannya…
Kesadaran dan kerelaan menerima kenyataan bahwa interaksi dengan siswa sebagai suatu keseluruhan akan menumbuhkan perhatian (concern), rasa peduli (caring), rasa berbagi (sharing), dan kebaikan yang tulus (kindness).
Dalam penutupnya, penulis menyampaikan  pula bahwa Guru Berkarakter sesungguhnya  bukanlah sesuatu yang bersifat to be or not to be, melainkan a process of becoming. Menjadi guru berkarakter adalah orang yang siap untuk terus menerus meninjau arah hidup dan kehidupannya serta menjadikan profesi guru sebagai suatu kesadaran akan panggilan hidup. Guru berkarakter senantiasa berusaha dan berjuang mengembangkan aneka potensi  kecerdasan yang dimilikinya.
Tentu masih banyak lagi pemikiran menarik lainnya yang bisa dijadikan bahan refleksi bagi kita sebagai guru maupun calon guru dalam upaya  mewujudkan diri menuju  GURU YANG BERKARAKTER.
Informasi tentang buku tersebut bisa Anda kunjungi website di bawah ini:

Jumat, 07 Oktober 2011

Dengan ilmu , hidup pasti lebih berharga

Pendidikan merupakan unsur terpenting dalam pembangunan bangsa , dengan pendidikan masyarakaat indonesia akan meraih ilmu yang nantinya ilmu itu sangat berguna dalam kehidupannya .
Coba anda bayangkan bila semua orang khususnya masyarakat indonesia tidak menyadari akan arti penting pendidikan , sudah dapaat  dipastikan kehidupan individu , maupun sosial tentu akan berantakan , hidup menjadi tak terarah dan berantakan , mellalui blog ini saya mengajak semua masyarakat indonesia , khususnya para generasi muda untuk membangkitkan semangat untuk menuntut ilmu setinggi tingginya , karna saya yakin dengan ILMU  hidup pasti lebih berharga :)